Publikata.com – Ucapan tak etis yang dilontarkan Yusuf Bora kepada jurnalis bukan hanya mencederai martabat pers, tapi juga membuka tabir lain yang lebih serius dugaan pelanggaran tata ruang pesisir oleh seorang pejabat publik yang juga pengusaha pariwisata.
Yusuf Bora, Ketua DPD Partai Perindo Kabupaten Sumba Barat Daya sekaligus Wakil Ketua DPRD SBD, sebelumnya menuai kecaman luas usai menghina jurnalis TVRI Freddy Ladi. Dalam percakapan telepon yang direkam, Yusuf menyatakan bahwa “wartawan kalau tidak ada berita maka tidak ada uang”, sebuah ucapan yang dianggap merendahkan integritas profesi pers dan mencederai semangat keterbukaan informasi publik.
Namun rupanya, penghinaan terhadap wartawan bukan satu-satunya masalah. Yusuf Bora diketahui juga merupakan pemilik Kawona Beach Club, sebuah usaha wisata yang berdiri di kawasan pesisir pantai Kawona, Desa Kadi Pada, Kecamatan Kota Tambolaka.
Berdasarkan penelusuran di lapangan, bangunan tersebut dibangun sejak tahun 2012 dan menggunakan struktur beton yang sangat dekat bahkan melanggar batas sempadan pantai.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada konfirmasi resmi apakah pembangunan Kawona Beach Club telah mengantongi izin mendirikan bangunan (IMB) dan izin lokasi pesisir yang sesuai dengan ketentuan hukum.
Namun secara prinsip, pembangunan fisik di kawasan pesisir tidak boleh melanggar sempadan pantai, sebuah garis batas penting yang dilindungi demi menjaga fungsi ekologis pantai dan akses publik.
Sempadan Pantai, Aturan yang Dilanggar
Menurut ketentuan hukum yang berlaku, pembangunan di kawasan pantai harus memperhatikan batas sempadan pantai sebagaimana diatur dalam :
Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, sebagaimana diubah menjadi:
UU No. 1 Tahun 2014 (perubahan atas UU No. 27/2007):
Pasal 50A ayat (1) “Setiap orang dilarang melakukan reklamasi dan/atau pembangunan pada kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang mengakibatkan rusaknya lingkungan, terganggunya fungsi ekologis pesisir, dan/atau hilangnya akses publik.”
Peraturan Presiden No. 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai:
Pasal 4 ayat (1):
“Batas sempadan pantai diukur minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat di luar kawasan perkotaan, dan 30 meter di kawasan perkotaan.”
Pejabat Publik yang Langgar Aturan Etika dan Hukum Dipertaruhkan
Sebagai Wakil Ketua DPRD, Yusuf Bora seharusnya menjadi teladan dalam menaati hukum dan menghormati peran pers sebagai pilar keempat demokrasi. Namun kenyataan menunjukkan sebaliknya. Ia tidak hanya menghina profesi jurnalis, tetapi juga diduga melanggar hukum tata ruang dan lingkungan hidup.
Pelanggaran sempadan pantai bukan sekadar persoalan administratif, melainkan ancaman terhadap kelestarian ekosistem pesisir, akses masyarakat terhadap pantai, dan pelanggaran hak publik atas ruang hidup yang adil. Lebih parah lagi, pelanggaran ini dilakukan oleh orang yang sedang menjabat sebagai wakil rakyat.
Tuntutan Evaluasi dan Penegakan Hukum
Masyarakat sipil dan organisasi wartawan di SBD menilai bahwa dua persoalan besar yang melibatkan Yusuf Bora yaitu pelecehan terhadap wartawan dan pelanggaran sempadan pantai tidak bisa dibiarkan. DPRD SBD dan aparat penegak hukum harus segera mengevaluasi etika, integritas, dan legalitas dari tindakan Yusuf Bora, baik sebagai pejabat publik maupun sebagai pemilik usaha pariwisata.
Demokrasi dan hukum akan mati pelan-pelan jika wakil rakyat justru menjadi pelaku pelanggaran yang dibiarkan.
Penulis : Alex
Editor : Jupir