Publikata.com, Ruteng — Polemik serius tengah mengguncang sebuah institusi pendidikan Katolik di Ruteng, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Munculnya dua versi pernyataan kampus terkait status seorang dosen berinisial ILS, yang juga seorang imam Katolik. Rentang waktu hanya 12 hari antara dua narasi yang saling bertentangan. Apakah kampus sedang menutupi sebuah kasus sebelum akhirnya terpaksa mengaku ketika isu itu terlanjur viral?
Temuan dugaan ketidakkonsistenan ini bukan bersumber dari spekulasi, melainkan dari kronologi penelusuran, laporan investigasi Floresa.co, serta keterangan resmi yang diterima redaksi Publikata.com.
Pada 12 November 2025, dalam keterangan Pers yang diterima Publikata.com, pihak UNIKA St. Paulus Ruteng menegaskan:
“Dosen berinisial ILS telah kami berhentikan sejak tanggal 12 November. Proses telah berjalan sesuai mekanisme internal kampus dan arahan moral Keuskupan.”
Pernyataan ini memberi kesan kampus bertindak cepat, tegas, dan bermoral.
Namun pada 24 November, ketika jurnalis Floresa.co datang langsung untuk mengonfirmasi, jawaban resmi dari pejabat kampus justru berbeda total.
“Saya belum mendapat informasi, saya kira ini hal yang menarik” dan “tidak ada yang tidak bisa ditangani”,
Ini disampaikan oleh Yohanes Surianto Asman, staf Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan UNIKA St. Paulus Ruteng kepada Flores.co pada 21 November 2025.
Bagaimana mungkin kampus mengaku belum menerima laporan pada 24 November, sementara mengklaim telah menerbitkan surat pemberhentian pada 12 November.
Rektor UNIKA St. Paulus Ruteng, Romo Agustinus Manfred Habur dan Uskup Ruteng, Siprianus Hormat kompak mengklaim tidak tahu kasus kekerasan seksual di kampus itu.
“Kami belum menerima laporan resmi apapun melalui mekanisme internal universitas,” kata Manfred.
Siprianus mengklaim tidak mendapat laporan dan mengarahkan Floresa.co untuk menanyakannya kepada pimpinan kampus.
Dan di luar itu, pernyataan tertulis UNIKA yang diterima Publikata.com bahwa pemberhentian sudah dilakukan sejak 12 November.
Floresa.co menemukan fakta-fakta lapangan yang kian menambah bobot dugaan ketidakterbukaan.
Mahasiswa Prodi Bahasa Inggris mengaku ILS masih mengajar pada 25 November2025, sehari setelah kampus mengaku belum menerima laporan.
ILS terdokumentasi memimpin Misa pernikahan pada 26 November 2025 meski kampus dan Keuskupan mengklaim ia telah dibatasi tugasnya.
Dalam keputusan tertulis kepada Christina korban yang melapor tidak ada informasi tentang pemberhentian. Ia hanya diberi tahu soal pembatasan tugas, termasuk larangan membimbing mahasiswi dan memimpin Misa.
Artinya, klaim pemberhentian yang disampaikan bertolak belakang dengan fakta lapangan dan informasi yang diterima korban.
Rektor Agustinus Manfred Habur, mengatakan ketidaktahuan pimpinan kampus terjadi karena laporan korban masuk melalui layanan konseling dan diteruskan ke yayasan.
Namun pengakuan ini bertentangan dengan kesaksian Christina. Christina menyampaikan bahwa ia pernah hadir dalam pertemuan resmi di ruangan Wakil Rektor III, bersama, Apolinaria Putri P. Bilo, Elisabeth Yulia Nugraha (anggota Satgas), Yohanes Surianto Asman (staf WR III).
Artinya, pimpinan kampus mengetahui kasus tersebut. Sangat berlawanan dengan klaim “belum menerima laporan”.
Terkait aktivitas ILS yang masih berjalan hingga akhir November, Manfred menyebut Surat Keputusan pemberhentian berlaku mulai 1 Desember 2025.
Pernyataan ini pun bertabrakan dengan klaim sebelumnya bahwa pemberhentian dilakukan 12 November.
Ketika seluruh fakta dirangkai :
1. SK pemberhentian diklaim terbit 12 November, tetapi berlaku 1 Desember.
2. Pada 24 November, kampus menyatakan belum menerima laporan.
3. Pernyataan pemberhentian baru disampaikan setelah isu viral.
4. Dosen masih mengajar dan memimpin misa meski diklaim telah diberhentikan.
5. Korban tidak pernah diberi tahu bahwa dosen sudah diberhentikan.
Ini menunjukkan dugaan kampus berusaha menahan atau menyamarkan informasi hingga kasus tidak lagi bisa dibendung oleh pemberitaan.
Penulis : Alex
Editor : Jupir






