Publikata.com, Gubernur Jawa Barat, Deddy Mulyadi memicu kegaduhan di ruang publik berkaitan dengan isu kebijakan yang diambil sepekan ini.
Mulai dari bersitegang dengan Ormas GRIB Jaya Jawa Barat di Depok, memasukan siswa nakal ke barak militer, dan yang terakhir, ide vasektomi untuk penerima bantuan sosial (bansos).
Deddy Mulyadi menjelaskan bahwa penerima bansos di Jawa Barat harus divasektomi alias KB pria.
Deddy Mulyadi mengemukakan alasan harus ber-KB untuk penerima bansos untuk menekan angka kemiskinan.
“Dari sisi tanggungjawab ketika seseorang menikah, maka ia bertanggungjawab terhadap kehamilan, kelahirannya, dan pendidikannya. Nah, kalau orang tidak punya kemampuan untuk membiayai kelahiran, membiayai kehamilan, dan membiayi pendidikan, ya jangan dulu ingin menjadi orang tua dong. Untuk itu, agar kelahirannya diatur, angka kemiskinan menurun; karena hari ini kan yang cenderung anaknya banyak cenderung miskin. Maka, para penerima bantuan sosial, apakah nanti bantuan biaya kelahiran, bantuan rumah sakit, bantuan listrik, bantuan pangan non tunai, bantuan perumahan, bantuan tanah, bantuan beasiswa untuk anaknya, saya harapkan yang laki-lakinya lho, suaminya atau ayahnya ber-KB sebagai bentuk tanggungjawan terhadap diri dan keluarganya,” Jelas Deddy dikutip dari channel Youtube Tvone, Jumat, 2/5/2025.
Menanggapi ide vasektomi tersebut, Menko Pemberdayaan, Muhaimin Iskandar atau lebih dikenal Cak Min menjelaskan bahwa syarat penerima bansos sudah ada. Dan, tidak ada syarat harus divasektomi lebih dulu.
“Nggak ada, nggak ada syarat itu, kata Cak Min di Kompleks Parlemen Senayan, Sabtu (3/5/2025)
Lebih lanjut, Cak Min mengingatkan kepala daerah untuk tidak boleh buat aturan sendiri terkait dengan bansos.
Dia juga menekankan bahwa seluruh bantuan pemerintah nanti sudah terintegrasi dengan KB.
Tanggapan terhadap gagasan kebijakan Gubernur Jawa Barat itu diutarakan oleh Ketua Komisi Fatwa MUI, Prof. Asrorun Niam Soleh yang menjelaskan bahwa kebijakan yang diambil oleh seorang pemimpin harus juga bijaksana dan tidak boleh bertentangan dengan hukum dan norma agama.
“Beberapa bulan menjabat, kebijakannya populis, saya kira di satu sisi pasti masyarakat memiliki ekspektasi dengan kebijakan populis ini. Akan tetapi, tentu kebijaksanaan itu dibutuhkan dalam pengambilan kebijakan. Kebijakan perlu bijaksana. Pemerintah perlu meregulasi, salah satunya dengan menetapkan syarat-syarat administratif. Tetapi kalau syarat-syaratnya bertentangan dengan hukum, syaratnya bertentangan norma agama, maka pemerintah yang seharusnya ditaati bisa tidak ditaati”, jelas Soleh.
Penulis : Jupir
Editor : Hatol