Labuan Bajo, Publikata.com — Dugaan adanya kejanggalan serius dalam pengelolaan dana proyek DAK (Dana Alokasi Khusus) di RSUD Komodo mencuat usai temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dua proyek besar yang dikerjakan oleh CV. Harum Karya Jaya dan CV. Adryufi Putra menjadi sorotan tajam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Manggarai Barat (Mabar).
Anggota DPRD Mabar, Kanisius Jehabut, dalam tanggapannya menegaskan bahwa temuan BPK menjadi pintu masuk untuk kontrol ketat ke depan.
“Kami akan terus mengecek setiap rapat komisi. Ini soal penggunaan uang rakyat. Potensi korupsi itu ada, dan temuan seperti ini harus dikembalikan kalau terbukti kelebihan bayar,” ujar Kanisius, Jumat (4/7).
Ia juga menegaskan bahwa publik berhak tahu dan mendorong evaluasi dari pihak eksekutif, terutama Bupati, terhadap dinas-dinas yang terindikasi bermasalah.
Proyek Pemeliharaan Gedung RSUD Komodo: Empat Kali Adendum, Pekerjaan Molor, dan Kelebihan Bayar
Proyek pemeliharaan gedung RSUD Komodo dengan pagu anggaran Rp9,4 miliar lebih, dikerjakan oleh CV. Harum Karya Jaya, mengalami empat kali perubahan adendum kontrak. Durasi pengerjaan molor dari 120 hari menjadi total 250 hari lebih, dengan dalih kondisi force majeure dan revisi volume pekerjaan.
Padahal, perubahan volume dan waktu pengerjaan semestinya dilakukan berdasarkan perencanaan yang matang dan sesuai ketentuan. Namun dalam praktiknya, kontrak justru berubah berulang kali, membuka potensi manipulasi anggaran.
PHO Diterbitkan, Pembayaran 100%, Tapi Volume Kurang
Tak kalah mencengangkan, proyek pembangunan gedung Instalasi Pemeliharaan Sarana Rumah Sakit (IPSRS) yang digarap CV. Adryufi Putra, bernilai lebih dari Rp4,3 miliar, ternyata telah dibayar lunas 100% melalui SP2D tanggal 27 Desember 2024.
Namun, hasil pemeriksaan mengungkap adanya kekurangan volume pekerjaan. Ironisnya, PHO (Provisional Hand Over) tetap diterbitkan, dan pembayaran tetap mengalir penuh. Ini jelas berisiko tinggi pada kerugian keuangan daerah, sebab pekerjaan tidak sesuai nilai yang dibayarkan.
Meski penyedia menyatakan bersedia mengembalikan kelebihan pembayaran ke Kas Daerah, pertanyaannya mengapa kelebihan itu bisa terjadi? Di mana fungsi pengawasan dari PPK, konsultan, hingga auditor internal daerah?
DPRD: Fakta Korupsi Belum Terbukti, Tapi Akar Masalahnya Sudah Nyata
Kanisius Jehabut menyebut, meski secara hukum belum ditemukan bukti korupsi, namun akar masalahnya jelas. Administrasi yang amburadul, lemahnya perencanaan, dan pengawasan yang tak maksimal.
“Kalau dari awal sudah salah administrasi, itu bisa berujung korupsi. Kita akan kawal ini. Jangan sampai uang rakyat dirampok lewat permainan proyek,” tegasnya.
Dasar hukum yang digunakan dalam perubahan kontrak adalah Pasal 56 Perpres 16 Tahun 2018 dan PMK Nomor 194/PMK.05/2014. Namun, aturan hanya jadi formalitas jika pengawas dan pelaksana proyek justru menggunakannya untuk membenarkan pembengkakan waktu dan volume demi keuntungan tertentu.
Dengan dua proyek strategis bernilai miliaran yang bermasalah, publik patut curiga bahwa praktik ini bukan sekadar “kesalahan teknis”, melainkan sistematis dan mungkin terjadi di proyek-proyek lainnya.
Penulis : Hatol
Editor : Jupir