Publikata.com, Labuan Bajo – Kisruh pelanggaran sepadan pantai di kawasan wisata premium Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) kembali mencuat dan memantik tanda tanya besar dari publik.
Setelah sebelumnya 11 hotel dijatuhi sanksi administratif berupa denda dengan total mencapai Rp 34 miliar karena dianggap melakukan privatisasi pantai, kini muncul fenomena baru pembangunan hotel-hotel besar yang justru kembali melanggar sepadan pantai.
Melansir detikBali (13/11/2023) Pemkab Mabar sebelumnya sempat tegas. Melalui SK Bupati Nomor: 277/KEP/HK/2021, sebelas hotel yang berdiri di sepanjang Pantai Pede dan Pantai Wae Cicu dikenai denda bervariasi, bahkan hingga miliaran rupiah.
Namun, yang lebih mengkhawatirkan, saat ini sejumlah hotel baru dengan skala besar juga diduga kuat membangun di atas wilayah sempadan pantai, bahkan merambah hingga garis pantai dan ke arah laut.
Hal ini memicu pertanyaan besar dari masyarakat mengapa pelanggaran lama ditindak tegas, tapi pelanggaran baru seolah dibiarkan.
“Ini bukan sekadar ketidaktegasan, ini seperti ada skenario. Dibiarkan bangun dulu, nanti didenda, uang dendanya masuk PAD. Ini pola yang membahayakan tata kelola pariwisata kita,” tegas Oktavianus Dalang, Sekretaris Forum Masyarakat Penyelamat Pariwisata Manggarai Barat (FOMAPP-MABAR), Jumat (25/4).
Ia menilai tindakan Pemda tidak mencerminkan sikap tegas sebagai regulator. Alih-alih memberikan kepastian hukum bagi investor, Pemerintah justru membuka ruang spekulasi dan memperburuk iklim investasi di kawasan wisata super premium tersebut.
“Kita melihat ada indikasi tebang pilih. Dulu hotel yang bangun di sempadan pantai langsung kena denda, tapi hotel-hotel baru sekarang malah seperti diberi karpet merah. Bahkan ada yang dibangun sampai ke laut, dan itu terjadi di depan mata Pemerintah,” kata Oktavianus.
Dalam laporan detikBali, 11 hotel yang didenda termasuk Atlantis Beach Club, The Jayakarta Suites, Sudamala Resort, Puri Sari Beach, Luwansa Beach Resort, Bintang Flores Hotel, La Prima Hotel, Plataran Komodo, Sylvia Resort Komodo, Ayana Komodo Resort, dan Waecicu Beach Inn. Dari total Rp 34 miliar denda yang dikenakan, baru dua hotel yang membayar: Atlantis Beach Club (Rp 293,3 juta) dan Plataran Komodo (Rp 1,5 miliar).
Dua hotel besar lainnya, Ayana Komodo dan Sylvia Resort Komodo, menggugat SK Pemda ke PTUN dan berhasil menang. Meski demikian, Bupati Manggarai Barat Edistasius Endi menyatakan akan menempuh jalur Peninjauan Kembali (PK) untuk mempertahankan putusan denda.
“Kami sedang upayakan PK sebagai bentuk pertanggungjawaban moral kami. Supaya pemerintah tidak kehilangan muruah,” ujar Edi Endi, seperti dikutip dari detikBali.
Namun, pernyataan tersebut justru menimbulkan polemik baru. Bupati Edi menyebutkan uang hasil denda hotel akan digunakan membangun fasilitas publik seperti jalan akses dan gedung parkir. Padahal, dalam banyak kasus, tanggung jawab infrastruktur publik di sekitar hotel sudah harus ditanggung oleh pihak investor dalam perjanjian awal.
“Uang denda itu kami bangun akses jalan ke pantai supaya tidak masuk lewat hotel, kami bangun gedung parkir karena kalian (hotel) tidak punya lahan parkir,” ujar Edi dalam rapat lanjutan yang difasilitasi Kementerian ATR/BPN.
Pernyataan ini memperkuat kecurigaan publik bahwa Pemda sengaja membiarkan pelanggaran demi mengejar denda.
“Apakah ini bentuk penegakan hukum atau cara baru memungut retribusi secara tidak langsung”, kata Oktavianus.
Oktavianus mempertanyakan, apakah Pemerintah benar ingin melindungi pesisir Labuan Bajo, atau justru menjadikan pelanggaran tata ruang sebagai ladang pendapatan Daerah
“Apakah denda dijadikan hukuman atau justru strategi “bisnis terselubung? Ujarnya
Penulis : Alex
Editor : Acik Jupir