Publikata.com, Labuan Bajo – Di balik lanskap eksotis Labuan Bajo yang kerap terpampang dalam promosi wisata internasional, tersembunyi potret suram dari krisis lingkungan yang kian memburuk.
Pulau Monyet, sebuah pulau kecil tak berpenghuni di perairan sekitar di depan Kota Labuan Bajo, menjadi saksi nyata dari praktik pembuangan sampah yang tak bertanggung jawab oleh pelaku wisata dan nelayan.
Temuan ini disampaikan oleh pegiat lingkungan Stefan Rafael yang melakukan inspeksi lapangan bersama komunitas relawan lingkungan pada Minggu (13/04/2025).
Dalam kegiatan tersebut, mereka menemukan tumpukan sampah seberat sekitar 400 kilogram yang berserakan di pesisir Pulau Monyet. Jenis sampahnya pun beragam, mulai dari plastik bekas kemasan makanan, botol kaca, kardus, hingga jeriken.
“Sampah-sampah ini bukan dari pemukiman, karena jaraknya cukup jauh. Ini lebih pada perilaku mencari kemudahan untuk menyembunyikan sampah di pulau tak berpenghuni,” kata Rafael, Sabtu (19/4).
Menurut Stefan, perilaku ini bukan hal baru dan bukan pula kejadian insidental. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pulau-pulau kecil di sekitar Labuan Bajo sering dijadikan tempat pembuangan tersembunyi oleh kapal wisata dan kapal nelayan. Aksi bersih-bersih yang rutin dilakukan oleh relawan setiap tahun pun tak mampu mengimbangi volume sampah yang terus bertambah.
“Berulang, dan rutin. Setiap hari. Setiap tahun sering ada gerakan relawan wisata bersih, tapi 17 pulau dalam Kelurahan Labuan Bajo tetap jadi tempat pembuangan sampah tersembunyi. Mental mau gampang ke pulau terdekat. Perlu sistem terpadu dalam sirkular ekonomi penanganan persampahan. 100% sampah dari kegiatan pariwisata alam, sampah dari pariwisata alam bahari Komodo. Sampah kapal,” tegasnya.
Pernyataan ini sejalan dengan pengakuan Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Manggarai Barat, Vinsen Gande. Ia menyebutkan bahwa sebagian besar sampah yang ditemukan di pulau-pulau sekitar memang kemungkinan besar berasal dari aktivitas wisata dan kelautan, khususnya kapal-kapal yang beroperasi di perairan Labuan Bajo.
Sampah Laut, Masalah Sistemik
Fenomena pembuangan sampah sembarangan di Labuan Bajo bukanlah kasus tunggal, melainkan bagian dari krisis lingkungan yang lebih besar di kawasan wisata super prioritas tersebut. Berdasarkan laporan Indonesian Waste Platform (IWP) yang dikutip dari mediaindonesia.com, setiap harinya sekitar 20 ribu sampah plastik mencemari perairan Labuan Bajo. Sebagian besar berasal dari aktivitas wisata, pelayaran, dan kegiatan ekonomi kelautan.
Masalah ini diperparah oleh belum adanya sistem pengelolaan sampah yang memadai. Banyak titik pembuangan liar belum terpantau, sementara infrastruktur dan pengawasan masih sangat terbatas.
Data dari Detik.com menunjukkan bahwa meski sudah dilakukan aksi pembersihan secara berkala, puluhan ton sampah tetap menumpuk di sekitar kawasan Taman Nasional Komodo. Sementara volume sampah yang tak tertangani diperkirakan jauh lebih besar.
Kondisi ini makin diperparah oleh laporan dari KatongNTT.com yang menyebutkan bahwa wilayah Nusa Tenggara Timur, termasuk Labuan Bajo, belum memiliki fasilitas pengolahan sampah yang terintegrasi dengan sistem pariwisata berkelanjutan. Pengelolaan masih bersifat parsial dan reaktif, bukan strategis dan kolaboratif. Kapasitas Tempat Pembuangan Akhir (TPA) juga terbatas, dan kesadaran lingkungan baik dari pelaku usaha, warga, hingga wisatawan, masih tergolong rendah.
Wisatawan Keluhkan Sampah, Komunitas Bergerak
Seiring meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan ke Labuan Bajo, keluhan soal pencemaran lingkungan juga mulai bermunculan. Sejumlah wisatawan asing mengaku kecewa karena mendapati banyak sampah saat snorkeling atau diving di spot-spot yang selama ini dipromosikan sebagai surga bawah laut.
Kekecewaan para pelancong ini berpotensi merusak citra Labuan Bajo sebagai destinasi unggulan yang dijanjikan pemerintah. Promosi sebagai “Bali Baru” tidak akan berarti jika kenyataan di lapangan justru bertolak belakang dengan ekspektasi wisata berkelas dunia.
Namun di tengah keterbatasan dan tantangan, sejumlah komunitas lokal tidak tinggal diam. Salah satunya adalah Koperasi Serba Usaha (KSU) Sampah Komodo, yang menginisiasi pengelolaan sampah secara swadaya. Mereka mengumpulkan, memilah, dan mengolah sebagian sampah yang dihasilkan dari aktivitas wisata. Tapi upaya ini masih jauh dari cukup, mengingat masifnya pertumbuhan pariwisata dan volume sampah yang terus meningkat setiap tahun.
Siapa Bertanggung Jawab?
Siapa yang seharusnya bertanggung jawab? Apakah pemerintah daerah yang belum menyediakan sistem pengelolaan memadai? Apakah pelaku usaha wisata yang abai terhadap dampak lingkungannya? Ataukah wisatawan yang kurang peduli pada jejak ekologisnya?
Jawabannya bisa jadi kita semua.
Tanpa langkah konkret, kolaboratif, dan berkelanjutan dari seluruh pihak Pemerintah, pelaku usaha, masyarakat lokal, dan wisatawan Labuan Bajo hanya akan menjadi potret indah di katalog promosi yang menyembunyikan kenyataan busuk di baliknya.
Penulis : Alex
Editor : Acik Jupir