Publikata.com, Larantuka – Dugaan praktik mafia peradilan kembali mencuat di Pengadilan Negeri (PN) Larantuka. Seorang debitur Bank NTT Cabang Larantuka, Thomas Arif Wijaya, secara tegas menolak rencana penilaian objek lelang tanah dan bangunan miliknya yang dijadwalkan berlangsung hari ini, Selasa (3/6), pukul 09.00 WITA. Ia menyebut proses ini cacat hukum karena menggunakan dokumen yang tidak sesuai dengan jaminan asli yang ia serahkan ke pihak bank.
Objek lelang yang disengketakan terletak di Kelurahan Postoh, Kecamatan Larantuka, Kabupaten Flores Timur, dengan dasar Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 19 seluas 918 meter persegi. Penilaian ini merupakan bagian dari tahapan eksekusi jaminan kredit atas permintaan Bank NTT.
Namun, Thomas menilai proses ini janggal dan sarat kejanggalan. Ia menyebut dokumen yang digunakan oleh pengadilan mencantumkan surat ukur Nomor 09, padahal menurutnya objek yang ia jaminkan berdasarkan Akta 04 menggunakan surat ukur Nomor 07.
“Ini menimbulkan pertanyaan besar. Ada perbedaan dokumen yang sangat fundamental. Bahkan, pengadilan justru menyatakan semuanya sudah final tanpa menjawab substansi keberatan kami. Kami menduga ada permainan kotor dalam proses ini,” kata Thomas kepada wartawan, Senin (2/6), usai menyerahkan surat keberatan resmi ke PN Larantuka.
Lebih mengejutkan, Thomas mengaku telah memperoleh jawaban dari PN Larantuka yang menyatakan bahwa tahapan penilaian tetap berjalan karena permohonan telah diajukan oleh Bank NTT, dan pengadilan hanya menjalankan permintaan tersebut.
Keluarga, Logika Hukum Pengadilan Aneh
Kejanggalan tidak berhenti di sana. Yohanes N.D. Paru, yang mewakili keluarga Thomas, turut mempersoalkan sikap pasif pengadilan yang justru melempar tanggung jawab verifikasi dokumen kepada pihak bank.
“Ini sangat aneh. Surat dikeluarkan oleh pengadilan, tapi kami justru disuruh tanya ke bank soal keabsahan dokumen. Logika hukumnya tidak masuk,” ujar Yohanes alias Anis Paru dengan nada kecewa.
Ia juga menyayangkan pernyataan Ketua PN Larantuka, Maria Rosdiyanti Servina Maranda, SH, yang menyebut bahwa pengadilan hanya memproses permintaan Bank NTT dan tidak melakukan verifikasi terhadap substansi dokumen eksekusi.
“Seharusnya pengadilan tidak hanya jadi tukang stempel bank. Kalau dokumen keliru dan tetap dijalankan, itu sama saja jadi bagian dari pelanggaran hukum,” tegasnya.
Kuasa Hukum Siapkan PK dan Laporan Pidana
Pendamping hukum Thomas, Matias Lidang Sabon, SH, MM, menyebut proses ini sebagai pelanggaran serius terhadap prinsip keadilan. Ia menegaskan bahwa pihaknya menolak seluruh proses penilaian hingga keabsahan dokumen dibuktikan secara sah dan terbuka.
“Kami sedang siapkan Peninjauan Kembali (PK) dan akan menempuh jalur pidana jika ditemukan unsur pemalsuan dokumen. Ini bukan hanya soal sengketa utang-piutang, tapi soal integritas hukum,” tegas Matias.
Dalam surat keberatan bertanggal 1 Juni 2025, Thomas menyoroti bahwa surat PN Larantuka tidak memuat secara rinci identitas tanah, tidak menyebut nomor surat ukur yang sesuai dengan jaminan kredit, serta tidak mencerminkan objek yang sesungguhnya.
Ketua PN Larantuka: Bukti Dipakai Sendiri oleh Debitur
Menanggapi tudingan ini, Ketua PN Larantuka, Maria Rosdiyanti Servina Maranda, SH, menegaskan bahwa pihak pengadilan telah bertindak sesuai prosedur. Ia menyatakan bahwa dokumen yang kini dipersoalkan justru sebelumnya digunakan oleh pihak debitur sendiri dalam perkara hukum sebelumnya.
“Dalam perkara perdata, hakim bersifat pasif. Semua pembuktian berasal dari para pihak. Bahkan dokumen yang disebut keliru itu adalah dokumen yang pernah mereka ajukan sendiri dalam proses memori PK,” ujarnya.
Namun, pernyataan ini kembali dipertanyakan oleh tim hukum Thomas, yang menyebut bahwa penggunaan dokumen dalam persidangan sebelumnya tidak bisa dijadikan pembenaran untuk melanjutkan proses eksekusi yang keliru.
“Kalau dulu kami salah menyerahkan bukti, pengadilan harus membantu mengoreksi, bukan membenarkan proses yang keliru. Kalau tidak, itu artinya hukum sudah dibajak untuk kepentingan pihak tertentu,” tandas Matias.
Thomas: Hukum Tidak Boleh Takluk kepada Kuasa Uang
Meski menghadapi tekanan dari lembaga keuangan dan pengadilan, Thomas Arif Wijaya menyatakan bahwa ia tidak akan mundur dari perjuangan menegakkan keadilan.
“Saya tidak takut. Walau dunia seakan runtuh, hukum tetap harus ditegakkan. Saya akan terus melawan mafia hukum ini demi kebenaran,” pungkasnya.
Penulis : Jo Dacosta
Editor : Alexandro