Publikata.com, Opini – Pariwisata telah menjadi salah satu sektor andalan dalam strategi pembangunan nasional, terutama di wilayah-wilayah yang kaya akan keindahan alam dan budaya, seperti Labuan Bajo.
Kawasan ini dijadikan salah satu destinasi super prioritas oleh Pemerintah, dengan dukungan infrastruktur besar-besaran, promosi global, dan kemudahan perizinan untuk investor. Namun di balik narasi positif tersebut, muncul persoalan mendasar yang patut dikritisi secara serius: apakah pariwisata ini benar-benar untuk rakyat dan alam, atau hanya menguntungkan segelintir pihak?
Ketimpangan Akses: Antara Wisatawan dan Warga Lokal
Fakta di lapangan menunjukkan adanya ketimpangan nyata. Banyak pantai dan kawasan pesisir yang dulu bebas diakses oleh masyarakat, kini mulai dipagari dan dikuasai oleh investor. Aktivitas tradisional seperti menangkap ikan atau sekadar berkegiatan sosial di pesisir menjadi terbatas.
Padahal, Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menjamin hak setiap orang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Selain itu, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Namun dalam praktiknya, negara tampak lebih aktif sebagai fasilitator kepentingan investor ketimbang pelindung hak rakyat. Misalnya, dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, yang merupakan turunan dari Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, proses perizinan menjadi sangat terpusat dan cepat, tetapi mengabaikan prinsip partisipasi masyarakat yang seharusnya menjadi roh dari demokrasi ekonomi.
Risiko Terhadap Ekosistem
Dari sisi ekologis, pembangunan pariwisata masif tanpa kajian lingkungan yang matang berpotensi merusak ekosistem yang justru menjadi daya tarik utama pariwisata itu sendiri. Dalam jurnal “Environmental Management in Coastal Tourism” (UNEP, 2020), ditegaskan bahwa tekanan wisata yang tidak terkendali terhadap kawasan pesisir dapat mempercepat degradasi terumbu karang, pencemaran air laut, serta perubahan tata guna lahan yang merusak keanekaragaman hayati.
Di Labuan Bajo, reklamasi pantai, pembangunan dermaga privat, dan pembukaan jalan menuju kawasan eksklusif menjadi indikator kuat bahwa pembangunan seringkali tidak mengindahkan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) yang obyektif. Masyarakat hanya dijadikan penonton atau penerima dampak, bukan sebagai subjek aktif dalam perencanaan dan pengelolaan wilayahnya.
Pariwisata Berkelanjutan Harus Menjadi Tujuan
Pariwisata sejatinya tidak harus bertentangan dengan hak masyarakat atau kelestarian lingkungan. Konsep pariwisata berkelanjutan telah digaungkan dalam berbagai forum internasional, termasuk oleh United Nations World Tourism Organization (UNWTO), yang menekankan pentingnya keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, pelestarian budaya lokal, dan perlindungan lingkungan.
Namun, agar konsep ini bisa benar-benar diwujudkan, dibutuhkan komitmen politik, regulasi yang adil, serta keterlibatan masyarakat dalam setiap proses pengambilan keputusan. Prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) sebagaimana diatur dalam Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat harus diterapkan agar masyarakat lokal tidak lagi menjadi korban dari kebijakan yang disusun dari atas.
Pariwisata yang baik bukan hanya dinilai dari banyaknya tamu yang datang atau jumlah devisa yang masuk, tetapi dari seberapa besar manfaat yang dirasakan oleh masyarakat lokal dan seberapa lestari alam yang diwariskan kepada generasi berikutnya. Pembangunan yang mengorbankan hak rakyat dan alam demi investor bukanlah kemajuan, melainkan kemunduran yang dibungkus dengan narasi indah.
Sudah saatnya negara mengembalikan keberpihakan pada rakyat, menjamin perlindungan terhadap ekosistem, dan membangun pariwisata yang adil, inklusif, dan berkelanjutan.
Penulis : Alex
Editor : Jupir