Publikata.com, Jakarta — Kasus pungutan liar (pungli) yang menimpa wisatawan di kawasan wisata Ratenggaro, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT), menuai sorotan tajam dari pemerintah pusat. Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Wamenparekraf), Ni Luh Puspa, menegaskan bahwa praktik pungli tidak boleh ditoleransi di destinasi wisata mana pun di Indonesia.
“Dunia pariwisata adalah ruang persembahan keindahan dan keramahan. Pungli adalah noda yang merusak citra itu. Ini bukan hanya soal uang, tapi soal kepercayaan dan martabat daerah,” tegas Wamenpar Ni Luh Puspa dalam rapat daring bersama seluruh pemangku kepentingan pariwisata di NTT, Rabu (21/5/2025).
Pernyataan keras tersebut muncul menyusul viralnya video yang diunggah Youtuber “Jajago Keliling Indonesia”, yang menunjukkan tindakan pungli terhadap wisatawan di jalan poros menuju Pantai Ratenggaro dan Kampung Adat Ratenggaro. Video tersebut menyulut reaksi publik dan dinilai berpotensi merusak reputasi pariwisata NTT yang tengah tumbuh pesat mencapai 1,5 juta kunjungan pada 2024.
Respons Cepat dan Evaluasi Menyeluruh
Pemerintah Kabupaten Sumba Barat Daya bersama aparat keamanan dan tokoh masyarakat langsung menggelar pertemuan pada 20 Mei 2025. Hasilnya, masyarakat dan penghuni Kampung Adat Ratenggaro mengakui kesalahan oknum pelaku dan menyatakan penyesalan mendalam. Mereka juga menyadari bahwa tindakan tersebut memalukan dan bertentangan dengan semangat menyambut wisatawan sebagai tamu kehormatan.
Dalam rapat koordinasi, disepakati serangkaian langkah konkret: pemasangan papan informasi tarif resmi, pelibatan aparat keamanan untuk menjamin kenyamanan pengunjung, serta pelatihan masyarakat dalam pengelolaan destinasi dan etika pelayanan wisata.
Pariwisata Inklusif Butuh Partisipasi Masyarakat
Wamenpar Ni Luh Puspa menekankan bahwa pembangunan pariwisata tak cukup hanya dengan infrastruktur. “Kuncinya adalah SDM dan kesadaran kolektif. Masyarakat harus dilibatkan dalam seluruh ekosistem wisata, dari pengelolaan hingga pemasaran,” ujarnya.
Kemenparekraf berkomitmen mendampingi pemerintah daerah melalui pelatihan, pembinaan sadar wisata, hingga digitalisasi destinasi. Pendekatan preventif dan edukatif disebut sebagai fondasi utama agar insiden serupa tidak terulang.
Tak kalah penting, wisatawan juga diimbau agar tidak memberikan bantuan langsung berupa uang kepada anak-anak di lokasi wisata. Bantuan sebaiknya disalurkan melalui lembaga desa atau komunitas agar tepat sasaran dan tidak menimbulkan ketergantungan yang merusak tatanan sosial.
Momentum Korektif bagi NTT dan Indonesia Timur
Bupati Sumba Barat Daya, Ratu Ngadu Bonu Wulla, menyampaikan permintaan maaf kepada publik atas insiden tersebut dan menegaskan komitmen pembenahan. Ia menyatakan bahwa pengawasan dan pembinaan akan diperketat, termasuk pelibatan Forkopimda, TNI, Polri, dan tokoh adat dalam mendukung destinasi yang aman dan berbudaya.
“23 Mei nanti kami akan turun langsung ke Ratenggaro. Ini bukan sekadar mengevaluasi, tetapi memperbaiki secara menyeluruh agar pariwisata Sumba Barat Daya tidak hanya indah, tetapi juga tertib dan beretika,” ujar Ratu Ngadu Wulla.
Destinasi Berkualitas Harus Tertib dan Inklusif
Sebagai destinasi prioritas nasional, NTT kini berada di persimpangan. Di satu sisi, pesona alam dan budaya menawarkan potensi besar. Di sisi lain, jika praktik tidak sehat seperti pungli dibiarkan, seluruh upaya pembangunan bisa tergerus.
“Insiden ini harus menjadi titik balik. Kita dorong pariwisata yang inklusif, berkualitas, dan bermartabat. Bukan hanya soal jumlah wisatawan, tapi soal bagaimana masyarakat jadi pelaku utama, bukan penonton,” tutup Ni Luh Puspa.
Rapat koordinasi turut dihadiri Sekda NTT Kosmas Damianus Lana, Kepala Dinas Pariwisata NTT Noldy Hosea Pellokila, dan pejabat pusat seperti Fadjar Hutomo, Hariyanto, dan Dwi Marhen Yono dari Kemenparekraf.
Penulis : Alex
Editor : Hatol