Oponi Oleh : Doni Parera
Publikata.com – Kriminalisasi terhadap dua aktivis yang gigih melawan privatisasi pantai dan laut di Manggarai Barat bukanlah kejutan bagi kami. Ini adalah sesuatu yang sejak awal sudah kami prediksi, bahwa kekuasaan yang tengah bersekutu erat dengan modal akan menggunakan segala cara untuk membungkam suara-suara kritis yang membela hak publik. Dan kini, skenario itu tengah dijalankan. Sebuah operasi yang tergolong rapi, tetapi terlalu mudah dibaca.
Dua aktivis yang dimaksud adalah Rafael Todo Wela dan Marcel Ahang. Mereka dikenal luas sebagai suara lantang yang konsisten membela ruang hidup masyarakat pesisir dan menentang praktik privatisasi pantai yang merampas hak publik di Labuan Bajo.
Ketegasan sikap dan keberanian mereka dalam mengkritik kekuasaan menjadi ancaman bagi kepentingan para pemodal dan elite lokal yang bermain di balik proyek-proyek besar di kawasan pesisir.
Kami menduga kuat, ini adalah langkah sistematis yang melibatkan aktor negara yang menyalahgunakan kewenangannya. Dimulai dengan cipta kondisi bahwa Labuan Bajo sedang tidak aman, katanya penuh preman di jalanan.
Labuan Bajo dicitrakan seolah-olah berada dalam keadaan darurat keamanan. Media-media kemudian membanjiri ruang publik dengan berita premanisme, razia, dan kekerasan. Publik digiring pelan-pelan untuk mempercayai bahwa ancaman itu nyata, bahwa “preman” ada di mana-mana.
Setelah itu, operasi razia dilancarkan. Apa yang kami lihat bukanlah upaya penegakan hukum, melainkan sebuah skenario politik yang dibungkus jargon keamanan. Di sinilah tragedi dimulai, aktivis yang selama ini bersuara untuk rakyat, kini dilabeli sebagai preman. Sebuah framing keji yang menjijikkan, karena dilakukan justru ketika mereka sedang berjuang untuk hak-hak orang banyak.
Ini bukan sekadar kriminalisasi. Ini adalah pembunuhan karakter. Ide-ide cerdas, diskusi publik yang kritis dan konstruktif, yang sejatinya adalah fondasi demokrasi, dimatikan dengan tangan-tangan kekuasaan yang alergi pada kebenaran.
Mereka takut jika borok kekuasaan mereka terbuka lebar. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa penguasa hari ini lebih berpihak kepada pengusaha. Keduanya menjalin simbiosis mutualisme satu haus kekuasaan, satu rakus uang.
Sayangnya, simbiosis ini tumbuh di atas reruntuhan hak-hak rakyat. Setelah opini publik digiring, para aktivis dimasukkan dalam keranjang ‘preman’, lalu dimanfaatkanlah celah hukum untuk memulai proses kriminalisasi.
Momentum dimanfaatkan dengan presisi, laporan polisi pun lahir. Semua ini dirancang secara sadar dan kami tidak ragu menyebutnya ini adalah desain busuk kekuasaan.
Pencetus ide pembungkaman ini, dalam pandangan kami, adalah para penjaga modal para pengusaha rakus itu. Mereka yang berdiri di belakang layar, bernaung dalam bendera partai yang sama, partai yang sejak lahir didirikan oleh pengusaha, untuk melindungi bisnis kelompoknya dengan kekuatan politik.
Maka tidak heran jika aparat negara dijadikan alat pelindung bisnis, bukan rakyat. Mengutip pemberitaan media lokal, disebut bahwa tujuan utama razia preman ini adalah menjaga keamanan dan kenyamanan pelaku usaha.
Sekali lagi bukan untuk melindungi masyarakat, tapi pengusaha. Ini adalah pengkhianatan terhadap konstitusi, terhadap amanat tugas institusi negara. Polisi, menurut konstitusi dan hukum, bertugas mengayomi, melindungi, dan melayani masyarakat. Sejak kapan aparat negara berubah menjadi penjaga kepentingan korporasi?
Kami ingin mengajak publik untuk jernih membaca realitas ini. Mari kita lihat definisi kata “preman” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pertama, partikelir atau swasta. Kedua, bukan tentara atau aparat. Ketiga, kepunyaan sendiri (mengenai barang).
Dengan definisi ini, maka hampir seluruh rakyat Labuan Bajo bisa masuk kategori “preman”. Sebab kami adalah orang biasa, bukan aparat, bukan tentara, dan hidup dari sumber daya yang kami kelola sendiri. Apakah ini alasan razia?
Definisi lainnya menyebutkan, preman adalah penodong, pemeras, perampok. Kalau itu acuannya, maka kami bertanya siapa yang sesungguhnya melakukan pemaksaan, penganiayaan, kekerasan? Apakah Rafael dan Marcel? Atau justru mereka yang selama ini melakukan kekerasan dengan seragam negara?
Kami melihat, justru di lapangan, pelaku kekerasan adalah mereka yang berdiri atas nama hukum tetapi bertindak sewenang-wenang. Maka kami bertanya kepada publik, apakah Rafael Todo Wela dan Marcel Ahang layak mendapat cap preman? Atau sebenarnya mereka adalah pejuang hak-hak rakyat yang dibungkam karena mengganggu kenyamanan para penguasa dan pemodal?
Pesan kami kepada masyarakat,
buka mata. Kita sedang dijarah secara sistematis. Alam kita dirusak, hak-hak publik diabaikan, dan kepentingan segelintir elite lebih diutamakan ketimbang kebutuhan dasar rakyat. Yang membela kepentingan banyak orang, justru dilabeli sebagai penjahat. Ini adalah pembalikan moral.
Pesan kami kepada para perancang skenario ini. Kami tidak akan surut, kami akan terus bersuara. Kami tidak takut. Kalianlah sejatinya penjahat, dan kami percaya kalian kelak akan berada di balik jeruji besi. Dunia ini bekerja seperti roda pedati. Hari ini kalian di atas, tapi esok kalian akan terjungkal oleh sejarah.
Catatan: Opini ini adalah pandangan pribadi/kelompok dan merupakan bagian dari hak menyatakan pendapat yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Penulis : Doni Parera
Editor : Alexandro