Publikata.com, Labuan Bajo – Saat malam menutup hari di Desa Watu Manggar, Kecamatan Macang Pacar, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar), Nusa Tenggara Timur (NTT), suara jangkrik menggantikan hiruk pikuk kota. Tapi yang paling terasa bukan ketenangan, melainkan gelap yang nyaris mutlak. Di desa ini, terang masih menjadi sebuah kemewahan yang belum bisa dinikmati warganya.
Selama puluhan tahun, lebih dari 1.500 jiwa yang menghuni Desa itu hidup tanpa aliran listrik dari PLN. Mereka masih mengandalkan pelita sederhana dari kaleng bekas dan minyak tanah untuk menerangi malam.
Di era digital ini, Watu Manggar masih berada dalam kegelapan secara harfiah dan simbolik.
“Anak-anak kami belajar hanya dengan cahaya pelita. Kami takut mata mereka rusak, tapi kami tak punya pilihan,” ujar Bonefasius Yosdan, seorang tokoh pemuda Desa (5/4).
Ia mengatakan, tiga kampung di desa itu—Kampung Sangka, Kampung Londang, dan Kampung Paurundang belum pernah merasakan listrik dari PLN, meskipun sebagian besar rumah warga sudah memiliki instalasi listrik sebagai dasar.
Ironisnya, jaringan listrik PLN sudah tersedia di desa tetangga. Namun, perluasan jaringan ke Watu Manggar tidak kunjung dilakukan.
“Kami merasa dianaktirikan. Seolah-olah kami tidak penting,” lanjut Yosdan.
Ketiadaan listrik bukan hanya soal gelap. Itu soal ketertinggalan. Tanpa listrik, kegiatan ekonomi sulit berkembang. Tanpa listrik, pendidikan terhambat. Tanpa listrik, akses informasi dan kemajuan seperti mimpi yang digantung di langit gelap.
Warga sudah bertahun-tahun mengajukan permohonan ke Pemerintah Daerah. Namun, hingga kini, belum ada tindakan konkret. Masyarakat Watu Manggar hanya bisa berharap, berharap, dan terus berharap.
“Setiap malam kami hidup dalam kegelapan. Tapi yang lebih menyakitkan adalah merasa dilupakan,” kata Yosdan menutup wawancara.
Kini, Watu Manggar menanti, semoga suatu hari nanti, terang benar-benar datang bukan hanya dari pelita, tetapi dari perhatian nyata Pemerintah.
Penulis : Hatol
Editor : Jupir