Publikata.com, Labuan Bajo – Di usia senjanya yang ke-75 tahun, Martinus Wedjo Bello masih menatap lahan kecil di Waemata, Desa Gorontalo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, yang kini hanya tersisa seribu meter persegi. Dulu, tanah itu terbentang luas kurang lebih1,3 hektar, yang ia beli dari hasil keringat menjaga kawasan Taman Nasional Komodo (TNK).
Ia membelinya pada 22 Juli 1981 dari Abdul Rahim Kadir, seharga Rp500 ribu, dengan surat jual beli yang sah.
“Itu hasil kerja saya menjaga kawasan komodo. Saya beli tanah ini untuk masa tua saya,” kata Martinus pelan, suaranya berat oleh kenangan, Sabtu (18/10).
Namun empat tahun kemudian, hidupnya berubah. Pada 25 Oktober 1985, datang kabar bahwa ia digugat di pengadilan oleh seseorang bernama Stefanus Efendi (Almarhum) Gugatan itu menyebut tanah yang ia beli secara sah termasuk dalam tanah ulayat yang disebut-sebut dibagi sepihak oleh Haku Mustafa, pemegang ulayat di Labuan Bajo waktu itu.
Martinus menjadi tergugat keenam, bersama lima orang lainnya.
“Saya tidak pernah dipanggil sidang, tahu-tahu ada putusan pengadilan yang menyebut saya kalah,” tuturnya.
Waktu itu Martinus sudah dipindahkan tugas ke Kabupaten Ngada, menangani wilayah Riung setelah penemuan Komodo di sana. Hingga suatu pagi di awal 1986, seorang panitera dari Pengadilan Ngada mengetuk pintu rumahnya.
“Dia bilang saya punya perkara tanah di Labuan Bajo. Saya kaget, karena saya tidak tahu apa-apa.”
Martinus lalu pergi ke Ruteng untuk mencari tahu. Di sana, Panitera Pengadilan Negeri Ruteng, Yakob Tulis, mengatakan bahwa ia punya hak untuk mengajukan banding. Dengan bantuan pengacara pemerintah Daerah, Paulus Galus, ia pun menyusun memori banding dan menang.
Namun kemenangan itu tak lama. Penggugat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, dan Martinus kalah.
“Itu bumerang buat saya. Saya pikir sudah selesai, ternyata tidak,” kenangnya lirih.
Tanah yang Terambil Tanpa Pemberitahuan
Tiga tahun setelah putusan kasasi, pada 1989, Pengadilan Negeri Ruteng mengeksekusi tanah sengketa seluas 13.000 m². Anehnya, menurut Martinus, eksekusi itu juga meluas ke lahan miliknya di luar objek sengketa, sekitar 9.500 m². Tanpa surat pemberitahuan, tanpa kesempatan membela diri.
“Tanah saya ikut diambil, padahal tidak termasuk dalam perkara,” ujarnya dengan getir.
Bertahun-tahun kemudian, saat ia sudah pensiun dari PPA (Perlindungan dan Pelestarian Alam) lembaga yang kini dikenal sebagai Balai Taman Nasional Komodo (BTNK) Martinus baru tahu bahwa tanahnya telah beralih tangan.
Ahli waris Stefanus Efendi disebut menjual lahan itu ke Hendrik Gunawan, yang kemudian mendapat sertifikat BPN nomor 1028 tahun 2011.
“Saya hanya minta mereka jujur. Kalau mereka punya hak 180×150 meter, jangan lebih. Tapi sekarang mereka kuasai lebih dari 9.000 meter²,” kata Martinus.
Perjuangan yang Tak Pernah Usai
Kuasa hukumnya, Yance Thobias Mesakh, SH, menjelaskan bahwa kliennya telah berulang kali berjuang menuntut keadilan.
“Pak Martinus digugat tanpa pernah dipanggil sidang. Lalu tanah miliknya dieksekusi melebihi objek sengketa. Itu jelas bentuk pelanggaran hukum,” ujarnya usai sidang pemeriksaan setempat yang dipimpin oleh Wakil Ketua PN Labuan Bajo, Erwin Harlond Palyama, SH, MH, pada Jumat (17/10).
Menurut Yance, kasus ini adalah bentuk perbuatan melawan hukum oleh para ahli waris Stefanus Efendi yang telah menjual tanah bukan milik mereka.
“Kami akan buktikan di pengadilan bahwa sertifikat yang lahir dari proses ini adalah cacat hukum,” tegasnya.
Dari Penjaga Komodo Jadi Pejuang Tanah Sendiri
Martinus bukan orang sembarangan di masa mudanya. Pada tahun 1970-an, ia adalah bagian dari tim pelopor penjaga Komodo. Ia dan rekan-rekannya berjalan kaki ratusan kilometer dari Labuan Bajo hingga Ruteng, mengusir 56 orang pemburu liar asal NTB yang datang berburu rusa dan membabat pohon lontar di kawasan Komodo.
Ia juga pernah bertaruh nyawa dalam kontak senjata dengan para pemburu, berpatroli dengan kapal kayu yang dinamai “King of Komodo” perahu layar sederhana yang jadi saksi dedikasi dan bahaya.
“Kalau waktu itu kami menyerah, mungkin Komodo sudah punah. Sekarang semua orang datang ke Labuan Bajo untuk melihat Komodo, tapi saya malah kehilangan tanah tempat saya menua,” ucapnya, menatap kosong ke arah kebun kecilnya yang tersisa.
Empat puluh tahun sudah sejak gugatan pertama itu. Ratusan juta rupiah telah habis. Langkahnya kini pelan, tapi tekadnya tetap menyala.
“Saya akan berjuang sampai titik darah penghabisan,karena saya mau hidup dalam kebenaran”,katanya dengan mata berkaca-kaca.
Penulis : Alex
Editor : Jupir






