Publikata.com, Manggarai Barat – Polemik rencana pembangunan hotel di Pulau Padar Utara, kawasan konservasi Taman Nasional Komodo, kembali menyingkap wajah politik lokal di Manggarai Barat. Di tengah gelombang penolakan masyarakat, pemandu wisata, hingga pelaku pariwisata, suara para wakil rakyat di DPRD Mabar justru terdengar terbelah ada yang netral, ada yang ragu, ada yang tegas menolak.
Ketua DPRD Mabar, dari Partai Nasdem, Benediktus Nurdin, memilih berlindung di balik alasan kewenangan.
“Pulau kecil masuk kewenangan provinsi, bukan kabupaten. Apalagi Pulau Padar ada dalam kawasan TN Komodo, itu urusan pusat melalui Kementerian Kehutanan. Tugas DPRD hanya membawa aspirasi, bukan memutuskan. Karena itu kami netral,” katanya, Senin (1/9)
Pernyataan ketua DPRD itu dianggap sebagai sikap cuci tangan. Sebab, meskipun benar kewenangan teknis ada di pusat, secara administratif Pulau Padar adalah wilayah Manggarai Barat. Wajar bila publik menuntut DPRD mengambil sikap politik, bukan sekadar menjadi kurir aspirasi.
“Ketua DPRD jangan berlindung di balik kata netral. Itu sama saja menghindar dari tanggung jawab. DPRD dipilih rakyat bukan untuk netral-netralan, tapi untuk berpihak pada masyarakat,” tegas Dady, seorang aktivis di Labuan Bajo, Senin (1/9).
Berbeda dengan Nurdin, anggota DPRD dari Golkar, Rofinus Rahmat, justru menegaskan DPRD tidak boleh bersembunyi di balik alasan kewenangan.
“Kalau masyarakat tidak setuju dan banyak yang dirugikan, otomatis DPRD harus bersama masyarakat. Kami ada di sini karena diutus rakyat, maka kami harus berpihak pada rakyat,” tegasnya, Senin (1/9).
Nada lebih keras datang dari Wakil Ketua II DPRD Mabar, Sewargading S.J. Putera (PKB), yang menyatakan sikap menolak sejak awal.
“Saya dari awal tolak itu, karena Pulau Padar adalah kawasan konservasi yang wajib dijaga. Pembangunan hotel akan merusak habitat dan memukul usaha pariwisata lokal. PKB satu suara yaitu menolak. Saya juga sudah koordinasi dengan DPR RI agar isu ini disuarakan di pusat,” ungkapnya, Senin (1/9).
Sementara itu, anggota DPRD dari Gerindra, Kanisius Jehabut, menawarkan posisi kompromi.
“Kami tidak tolak investasi, tapi kami bersama masyarakat. Yang dibutuhkan di sana adalah fasilitas umum, bukan hotel. Komodo eksklusif, dunia memperhatikan, tapi bagaimana dengan manusianya? Bagaimana dengan kesejahteraan masyarakat?” katanya.
Tri Dady mengungkapkan, sikap para legislator mencerminkan wajah politik lokal yang gamang. Di satu sisi, mereka mengakui ada penolakan luas dari masyarakat. Di sisi lain, ada yang memilih aman dengan dalih “netral” atau “sekadar penyalur aspirasi”. Padahal, penolakan publik bukan lagi sekadar wacana.
Baginya, konteks ini memperlihatkan bahwa DPRD tidak bisa sekadar menjadi penonton. Fungsi representasi mengharuskan mereka berpihak pada rakyat, bukan sekadar menyampaikan aspirasi seperti pos surat. Netralitas di tengah konflik rakyat dan investor sama artinya dengan membiarkan privatisasi ruang publik berjalan mulus.
“Pulau Padar Utara adalah ikon konservasi dunia, bukan sekadar lahan investasi. Ketika rakyat sudah tegas menolak, DPRD Mabar diuji berani berdiri bersama rakyat atau memilih diam dengan alasan kewenangan”, tegas nya.
Penulis : Alex
Editor : Jupir