Publikata.com – Labuan Bajo selalu dijual dengan bahasa surga. Di baliho-baliho pariwisata, ia digambarkan sebagai gerbang eksotis menuju Komodo, lautan biru yang tak tersentuh, dan senyum ramah orang-orang lokal yang dikemas sebagai “atraksi budaya”. Tetapi apa arti surga bila pintunya dipagari besi dan di balik senyum ada air mata?
Di pesisir utara kota, bakau dibabat demi hotel-hotel mewah. Akar yang dulu menjadi rumah ikan kini tercabut, diganti fondasi beton yang menjanjikan “kemewahan”. Di teluk-teluk kecil, pasir dipadatkan, laut direklamasi. Nama pembangunan terdengar indah, tetapi apa arti pembangunan bila yang dibangun adalah tembok untuk menutup akses rakyat pada lautnya sendiri?
Yang paling getir adalah rencana membangun hotel di jantung ekologi Nusantara Pulau Padar Utara, bagian dari Taman Nasional Komodo. Bayangkan, sebuah kawasan warisan dunia, rumah purba yang diakui peradaban, hendak disulap menjadi taman bermain investor. Seolah-olah dunia hanya butuh resor, bukan ekosistem. Seolah Komodo dan lanskap purba itu hanyalah dekorasi di balik jendela kamar hotel.
Pemerintah daerah menutup mata. Mereka bersembunyi di balik retorika “Itu bukan domain Pemda.” Kalimat itu berulang-ulang dilafalkan, seperti doa malas yang menenangkan nurani sendiri. Padahal apa gunanya pemerintah bila ia tak bersuara untuk tanah dan lautnya? Diam adalah bentuk paling halus dari pengkhianatan.
Labuan Bajo hari ini adalah panggung ironis rakyat jadi penonton yang terpinggirkan, sementara investor dan turis jadi aktor utama. Laut yang dulu milik nelayan kini menjadi milik pagar. Bukit yang dulu tempat anak-anak menggembala kini dilabeli “kawasan eksklusif”. Dalam bahasa filsafat, inilah wajah kolonialisme baru, bukan lagi bedil dan meriam, melainkan kontrak investasi, sertifikat konsesi, dan promosi “pariwisata super premium”.
Tetapi sejarah selalu berbisik, surga tak pernah bisa dimiliki segelintir orang. Hutan bakau yang ditebang akan menuntut dengan banjir. Laut yang direklamasi akan kembali dengan abrasi. Komodo yang terganggu akan membawa sepi dalam bentuk ekosistem yang rusak. Alam, pada akhirnya, selalu menulis perlawanan dengan cara yang tak terbantahkan.
Maka pertanyaannya bukan lagi apakah Labuan Bajo indah. Pertanyaannya indah untuk siapa?
Jika jawabannya hanya untuk turis asing dan investor, maka judul ini menemukan kebenarannya, Labuan Bajo Bukan Untukmu.
Penulis : Alexandro Hatol
Editor : Jupir